Tragedi 27 November 2017
SDN Kerdonmiri 2 (Donmiua) merupakan salah satu SD di kecamatan Rongkop, Gunungkidul, Yogyakarta. Ini persinggahan ketigaku dalam belajar menjadi seorang guru. Sekolah pertamaku SDN Gedong 3, terkena imbas peraturan regrouping. Mulai dari tahun 2010 sampai 2014 semester 1 aku harus pergi meninggalkan SD yang memberikan kesempatan serta ilmu awal yang aku dapatkan untuk menjadi guru. Di tahun 2014, aku bergeser ke SDN Gedong 1 selama 6 bulan. Dan pertanggal 5 Januari 2015, akhirnya pindah lagi ke SDN Kerdonmiri 2 sebeLum diangkat menjadi PNS di SDN Melikan tanggal 16 Februari 2019. Selama 5 tahun menimba ilmu di Donmiua, aku benar-benar merasakan menjadi seorang guru. Banyak sekali Diklat serta kegiatan yang menambah wawasan serta kecintaan sebagai seorang pendidik. Prestasi tingkat kecamatan dan kabupaten pernahku raih karena di Donmiua benar-benar mendorongku untuk maju sampai sekarang walaupun sudah tidak lagi disana. Uniknya, selama 5 tahun mengajar di sana, aku mendapatkan kelas yang berbeda-beda mulai kelas 2-6. Pingin banget ngerasain mengajar kelas 1 disana, biar komplit.
Pagi itu, Senin, 27 November 2017 cuaca sudah terlihat mendung. Bel tanda masuk sekolah berbunyi melalui spiker tiap sudut kelasnya. "Langsung masuk saja, hari ini tidak upacara". Seru Bu Musiyati salah satu guru yang disambut riang gembira anak-anak karena kaki mereka tidak harus menopang tubuh mereka di halaman sekolah. "Dasar anak-anak, NasionaLisme dan rasa hormat mereka terhadap pahlawan gak ada sama sekali". Teriakku dalam hati, memberontak yang aku lihat barusan.
Waktu menunjukkan pukul 07.15, aku bergegas menuju kelas. "Selamat pagi Pak Budiiii," sambut mereka melihat kaki kananku masuk ke ruangan 7x8,5 meter itu. Segera ku jawab dan langsung mempresensi siswaku.
"Ari tidak masuk Pak, kambuh penyakit-(malas)nya." Sahut seorang anak diikuti tawa seluruh kelas.
Yaaaahhh, kelas 6 yang ini begitu spesial bagiku. Pluralitas yang tinggi dan rasa persatuan kelas yang luar biasa. Kelas penuh semangat dan canda tawa. Kadang aku lebih menjadi seorang kakak daripada pendidik bagi mereka.
"Bagaimana kegiatan Minggu kalian? Adakah yang tidak beribadah?" Tanya ku untuk memulai pembelajaran.
"Ke gereja Pak, Isa juga". Jawab Yuan salah satu anak yang beragama Kristen.
"Yang Katholik, Ines, Wibi?" Ku alihkan pandangan ke sudut kelas tempat duduk Wibi.
"Iya Pak. . . ." Jawab Wibi
"Naik motor sendiri Pak, sama neneknya." sahut Anggit, muridku paling aktif dan kocak di kelas.
Memang, Wibi anak yang rajin. Dia dititipkan orang tua yang bekerja di kota untuk sekolah dan tinggal bareng neneknya. Jadi untuk membayar pajak serta belanja kebutuhan sehari-hari, Wibi yang melakukannya.
"Hati-hati ya Bii, jangan samakan kecepatan saat bonceng nenek sama bonceng Isa". Ku goda muridku yang diikuti teriakan Ciee Cieeeee seluruh kelas.
"Inez?" Tambahku supaya anak tenang.
Oh iya, ada beberapa aturan di kelasku. Jika ada yang berbicara, maka yang lain harus memperhatikan. Itu berlaku untuk setiap orang. Dan yang tidak berbicara (bertanya atau mempresentasikan hasil pembeLajaran) maka di akhir pembelajaran harus siap-siap bernyanyi lagu nasional di depan kelas. Dan yang memotong pembicaraan, akan mendapatkan tatapan seram dari penghuni kelas.
"Saya ke Gereja Ngeposari Pak." Jawab Inez sambil mengambil tinta dari dalam laci.
"Yang Islam, saya yakin kalian rutin Sholat. Yang bohong nanti jadi juragan minyak goreng oplosan (salah satu tokoh film Azab Indosiar)." Ucapku sambil meletakkan buku presensi.
"Huuuuuuuu, ," suara gemuruh anak-anak yang terdengar samar karena hujan deras sekali mengguyur Donmiua.
"Nok-Lee, kita pernah belajar tentang perjuangan melawan penjajah, persiapan kemerdekaan, sampai akhirnya kita merdeka hingga saat ini. Apa kalian lupa bagaimana menghargai jasa mereka?" Tanyaku dengan nada tinggi.
"meneruskan perjuangan Pak". Jawab Anggit mengikuti tangan kanannya yang diangkat.
"Belajar dengan sungguh-sungguh Pak". Lanjut Raihan.
"Benar, kalian masih ingat. Tapi tidakkah kalian ingat bahwa upacara bendera itu juga salah satu cara kita untuk mengenang jasa para pahlawan?"
Kelas mulai hening, mungkin mereka kira aku akan marah-marah lagi. Beberapa anak mulai menunduk tidak berani menatapku.
"Ya, kalian sudah keLas 6. Kalian itu panutan adik-adik kelas kalian. Saya tahu kalian suka jika tidak upacara. Tapi jangan berteriak kegirangan seperti itu. Nanti mereka niru."
Disaat seperti ini, anak-anak tahu bahwa akan lebih baik mendengar amanat pembina upacara dari pada omonganku karena jelas bakalan lama.
"Apa itu sikap yang baik? Pilih mana upacara sama perang lawan penjajah? Mereka pakai meriam dan senapan, kalian cuma bambu runcing".
"Besuk kalau terjadi lagi, kalian segera masuk kelas. Literasi tentang pahlawan. Gambar atau buat tulisan dari yang kalian baca"
"Siap Pak". Jawab mereka lega karena yakin tidak akan lama.
Aku sampai kehilangan kata-kata, pikiran mulai pecah' disaat hujan deras dan angin mulai menggoyangkan pohon-pohon disekitar Donmiua.
"Tutup jendelanya". Perintahku agar suara angin tidak terlalu keras masuk ruangan kelas.
Bergegaslah beberapa anak menutup cendela kelas.
"Heeeiii, lantai halaman tergenang air". Teriak Rizky sambil menoleh kepada teman-temannya.
"Belakang kelas juga". Teriak Dea menatapku dengan rasa panik.
Sontak mereka bergegas melihat, akupun mulai penasaran. Benar saja, debit air dari pintu gerbang begitu deras. Luapan air dari jalan raya.
"Ayooo kembali duduk. Saya ke kantor sebentar". Perintahku sambil aku berjalan keluar kelas.
"Situasi sedang tidak kondusif, WA grub, lebih baik anak-anak pulang lebih awal Mas." Pak Widodo kepala Donmiua memintaku untuk menulis pesan pada Grub WA paguyuban orang tua murid.
Memang, Donmiua pernah mengalami banjir pada tahun 2006. Dan setiap musim hujan, kami selalu waspada.
Segera aku berlari ke kelas, anak-anak pasti takut melihat air yang begitu banyak.
"Ayo berkemas, 5 menit lagi pulang. Kalau belum melihat ada yang jemput di gerbang, tetap di dalam kelas".
Anak-anak dengan segera berkemas. Ku pikir mereka panik. Tapi mereka tidak sepolos itu. Mereka asyik melihat air yang begitu banyak. Sebagian siswa sudah melepas sepatu dan berganti sandal yang ada di rak serta baju seragamnya yang sudah berbincang dengan buku paket di dalam tasnya. Bersiap untuk pesta air. "Dasar anak-anak". Pikirku dalam hati sambil tersenyum menggelengkan kepalaku.
Wibi, Anggit, dan Adit segera menghampiriku. Menjabat tanganku sambil mengucap salam. Tas yang sudah tertutup mantel tas dan sendal jepit yang mereka pakai menandakan mereka siap untuk menembus genangan air. Mereka bertiga berlarian menuju parkiran sepeda ontel sambil bergaya membuat iri anak-anak lain untuk bermain air. Mereka bertiga Seakan mengingatkan ku tentang masa kecilku dulu.
Beberapa menit berselang, seluruh siswa telah meninggalkan Donmiua. Air sudah menutupi seluruh halaman. Terlihat Mas Yayan, Lartoyo, dan Pak Waryanto mengosongkan motor di garasi.
Bapak ibu guru mulai panik. Air meninggi dan hujan semakin menjadi-jadi. Dengan sigap, kami membereskan berkas dan surat-surat penting sebagai antisipasi banjir.
"Mari Pak-Buu administrasi kelas disimpan ditempat yang aman." Seru Pak Widodo.
"Sudah ada di almari Pak." Jawab Bu Atik wali kelas 5.
"Oh ya Bu, mohon dipastikan ada di rak lemari bagian atas".
"Benar Pak, ditakutkan seperti tahun 2006 banjir sampai cendela kelas." Kenang Bu Musiyati.
"Murid saya terbanyak Pak, tidak muat jika seluruh buku masuk dalam satu lemari." Pak Edi guru kelas 4 meminta pertimbangan.
"Silahkan Pak, mau di atas meja guru,dibawa ke perpus atau kantor ndak masalah. Yang penting tempat tinggi." Pak Widodo menjawab.
Aku masih saja sibuk dengan administrasi yang berceceran dibeberapa ruangan. Disaat seperti ini aku baru sadar, kerapian itu penting.
Saat kami sibuk di dalam kantor, tak disangka air mulai menggenang sampai diatas lutut orang dewasa. Jalan raya sudah tidak bisa dilintasi kendaraan lagi.
Tengah hari, air sudah masuk ke dalam ruang kelas. Padahal lantai kelas 75cm diatas permukaan lantai halaman. Kami sudah tidak bisa lagi bertahan di area Donmiua. Kami pun pindah ke tempat yang lebih tinggi di kios sebelah timur Donmiua. Pak Sawabi guru Penjas Donmiua, Lartoyo serta mas Yayan berjaga sembari melaporkan kondisi terkini SD.
Malam itu hujan belum juga reda. Pagar SD Donmiua setinggi 2,5 meter hampir tertutup air. Setiap hp berbunyi, yang ada dipikiran kami hanya satu. Bagaimana rumah kedua kami?. Pak Widodo pun juga segera meliburkan siswa Donmiua karena jelas beresiko tinggi jika memaksakan hal tersebut.
Keesok harinya, aku berangkat lebih pagi. Masih disambut genangan air setinggi 50cm. Tidak ada Lagi Isa, Inez, Cahya dan Dea yang biasa menyambutku dengan membawa buku matematika. Biasanya mereka sudah duduk diparkiran dengan banyak pertanyaan. Sedikit demi sedikit air mulai berkurang melalui sebuah lubang disudut SD Donmiua. Terlihat pagar SD Donmiua masih tertidur pulas. Ternyata kontainer lah yang menina-bobokkan pagar sampai porak-poranda. Pintu Mushola Donmiua juga terkena dampaknya.
Pukul 11.00 WIB siang, air benar-benar surut. Tinggal di beberapa bagian yang masih menggenang. Tembok, lantai, dan tamanpun terbungkus lumpur dan sampah. Masuk ke ruangan meja dan kursi sudah berserakan. Buku-buku sudah menjadi lembek seperti roti yang masuk dalam kopi.
"Hancur jadi bubur Top". Teriak Lartoyo dari sudut kelas 4 sambil memegang buku Tematik.
"Pagarmu roboh kenapa mas?" Tanya Bu Wartini sambil melepas helm yang dikenakan.
"Kena dampak truk kontainer yang lewat Buu." Jawab Lartoyo sambil memilih buku yang masih bisa diselamatkan.
"Ini mau gimana Bang?" Tanyaku yang kebingungan, tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Aku shock, karena ini pertama kali aku terdampak banjir.
"Nunggu Pak Widodo dulu, sebentar lagi datang."
Beberapa menit kemudian, Pak kepala sekolah datang. Setelah berdiskusi dengan bapak ibu guru, Pak Widodo memberikan kesimpulan bahwa pembersihan akan dilaksanakan bersama Komite sekoLah dan orang tua wali.
Hari itu kami menyiapkan peralatan kebersihan dan memindahkan barang yang masih bisa terselamatkan. Tak ada lagi canda tawa, pikiran kami was-was. Sedianya menyiapkan soal ujian kenaikan kelas, tapi keadaan sudah tidak memungkinkan.
Dua hari pasca kebanjiran, waktunya memandikan SD Donmiua. Banyak sekali bantuan tenaga dan alat steam dari lingkungan sekitar. Beberapa SD yang berdekatan juga turut membantu. Min Melikan, SD Baran 1, dan SD Karangwuni 1 juga ikut ambil bagian. Nampak KorwiL Bidik Rongkop, Polsek dan Koramil Rongkop juga ikut membantu.
Akhirnya, setelah 3 hari kegiatan pembelajaran diliburkan aku kembali bertemu anak-anak kelas 6. Melanjutkan pembelajaran yang sempat tertunda. Kami harus mengejar materi yang belum disampaikan. Apalagi tryout pertama kabupaten tinggal 3hari. Kami harus segera bangkit dan sebisa mungkin berjalan mengejar materi yang mungkin SD lain sudah bisa berlari.
Nama : Budi Artopo
Instansi : SDN MeLikan Rongkop Gunungkidul Yogyakarta
Waktu menunjukkan pukul 07.15, aku bergegas menuju kelas. "Selamat pagi Pak Budiiii," sambut mereka melihat kaki kananku masuk ke ruangan 7x8,5 meter itu. Segera ku jawab dan langsung mempresensi siswaku.
"Ari tidak masuk Pak, kambuh penyakit-(malas)nya." Sahut seorang anak diikuti tawa seluruh kelas.
Yaaaahhh, kelas 6 yang ini begitu spesial bagiku. Pluralitas yang tinggi dan rasa persatuan kelas yang luar biasa. Kelas penuh semangat dan canda tawa. Kadang aku lebih menjadi seorang kakak daripada pendidik bagi mereka.
"Bagaimana kegiatan Minggu kalian? Adakah yang tidak beribadah?" Tanya ku untuk memulai pembelajaran.
"Ke gereja Pak, Isa juga". Jawab Yuan salah satu anak yang beragama Kristen.
"Yang Katholik, Ines, Wibi?" Ku alihkan pandangan ke sudut kelas tempat duduk Wibi.
"Iya Pak. . . ." Jawab Wibi
"Naik motor sendiri Pak, sama neneknya." sahut Anggit, muridku paling aktif dan kocak di kelas.
Memang, Wibi anak yang rajin. Dia dititipkan orang tua yang bekerja di kota untuk sekolah dan tinggal bareng neneknya. Jadi untuk membayar pajak serta belanja kebutuhan sehari-hari, Wibi yang melakukannya.
"Hati-hati ya Bii, jangan samakan kecepatan saat bonceng nenek sama bonceng Isa". Ku goda muridku yang diikuti teriakan Ciee Cieeeee seluruh kelas.
"Inez?" Tambahku supaya anak tenang.
Oh iya, ada beberapa aturan di kelasku. Jika ada yang berbicara, maka yang lain harus memperhatikan. Itu berlaku untuk setiap orang. Dan yang tidak berbicara (bertanya atau mempresentasikan hasil pembeLajaran) maka di akhir pembelajaran harus siap-siap bernyanyi lagu nasional di depan kelas. Dan yang memotong pembicaraan, akan mendapatkan tatapan seram dari penghuni kelas.
"Saya ke Gereja Ngeposari Pak." Jawab Inez sambil mengambil tinta dari dalam laci.
"Yang Islam, saya yakin kalian rutin Sholat. Yang bohong nanti jadi juragan minyak goreng oplosan (salah satu tokoh film Azab Indosiar)." Ucapku sambil meletakkan buku presensi.
"Huuuuuuuu, ," suara gemuruh anak-anak yang terdengar samar karena hujan deras sekali mengguyur Donmiua.
"Nok-Lee, kita pernah belajar tentang perjuangan melawan penjajah, persiapan kemerdekaan, sampai akhirnya kita merdeka hingga saat ini. Apa kalian lupa bagaimana menghargai jasa mereka?" Tanyaku dengan nada tinggi.
"meneruskan perjuangan Pak". Jawab Anggit mengikuti tangan kanannya yang diangkat.
"Belajar dengan sungguh-sungguh Pak". Lanjut Raihan.
"Benar, kalian masih ingat. Tapi tidakkah kalian ingat bahwa upacara bendera itu juga salah satu cara kita untuk mengenang jasa para pahlawan?"
Kelas mulai hening, mungkin mereka kira aku akan marah-marah lagi. Beberapa anak mulai menunduk tidak berani menatapku.
"Ya, kalian sudah keLas 6. Kalian itu panutan adik-adik kelas kalian. Saya tahu kalian suka jika tidak upacara. Tapi jangan berteriak kegirangan seperti itu. Nanti mereka niru."
Disaat seperti ini, anak-anak tahu bahwa akan lebih baik mendengar amanat pembina upacara dari pada omonganku karena jelas bakalan lama.
"Apa itu sikap yang baik? Pilih mana upacara sama perang lawan penjajah? Mereka pakai meriam dan senapan, kalian cuma bambu runcing".
"Besuk kalau terjadi lagi, kalian segera masuk kelas. Literasi tentang pahlawan. Gambar atau buat tulisan dari yang kalian baca"
"Siap Pak". Jawab mereka lega karena yakin tidak akan lama.
Aku sampai kehilangan kata-kata, pikiran mulai pecah' disaat hujan deras dan angin mulai menggoyangkan pohon-pohon disekitar Donmiua.
"Tutup jendelanya". Perintahku agar suara angin tidak terlalu keras masuk ruangan kelas.
Bergegaslah beberapa anak menutup cendela kelas.
"Heeeiii, lantai halaman tergenang air". Teriak Rizky sambil menoleh kepada teman-temannya.
"Belakang kelas juga". Teriak Dea menatapku dengan rasa panik.
Sontak mereka bergegas melihat, akupun mulai penasaran. Benar saja, debit air dari pintu gerbang begitu deras. Luapan air dari jalan raya.
"Ayooo kembali duduk. Saya ke kantor sebentar". Perintahku sambil aku berjalan keluar kelas.
"Situasi sedang tidak kondusif, WA grub, lebih baik anak-anak pulang lebih awal Mas." Pak Widodo kepala Donmiua memintaku untuk menulis pesan pada Grub WA paguyuban orang tua murid.
Memang, Donmiua pernah mengalami banjir pada tahun 2006. Dan setiap musim hujan, kami selalu waspada.
Segera aku berlari ke kelas, anak-anak pasti takut melihat air yang begitu banyak.
"Ayo berkemas, 5 menit lagi pulang. Kalau belum melihat ada yang jemput di gerbang, tetap di dalam kelas".
Anak-anak dengan segera berkemas. Ku pikir mereka panik. Tapi mereka tidak sepolos itu. Mereka asyik melihat air yang begitu banyak. Sebagian siswa sudah melepas sepatu dan berganti sandal yang ada di rak serta baju seragamnya yang sudah berbincang dengan buku paket di dalam tasnya. Bersiap untuk pesta air. "Dasar anak-anak". Pikirku dalam hati sambil tersenyum menggelengkan kepalaku.
Wibi, Anggit, dan Adit segera menghampiriku. Menjabat tanganku sambil mengucap salam. Tas yang sudah tertutup mantel tas dan sendal jepit yang mereka pakai menandakan mereka siap untuk menembus genangan air. Mereka bertiga berlarian menuju parkiran sepeda ontel sambil bergaya membuat iri anak-anak lain untuk bermain air. Mereka bertiga Seakan mengingatkan ku tentang masa kecilku dulu.
Beberapa menit berselang, seluruh siswa telah meninggalkan Donmiua. Air sudah menutupi seluruh halaman. Terlihat Mas Yayan, Lartoyo, dan Pak Waryanto mengosongkan motor di garasi.
Bapak ibu guru mulai panik. Air meninggi dan hujan semakin menjadi-jadi. Dengan sigap, kami membereskan berkas dan surat-surat penting sebagai antisipasi banjir.
"Mari Pak-Buu administrasi kelas disimpan ditempat yang aman." Seru Pak Widodo.
"Sudah ada di almari Pak." Jawab Bu Atik wali kelas 5.
"Oh ya Bu, mohon dipastikan ada di rak lemari bagian atas".
"Benar Pak, ditakutkan seperti tahun 2006 banjir sampai cendela kelas." Kenang Bu Musiyati.
"Murid saya terbanyak Pak, tidak muat jika seluruh buku masuk dalam satu lemari." Pak Edi guru kelas 4 meminta pertimbangan.
"Silahkan Pak, mau di atas meja guru,dibawa ke perpus atau kantor ndak masalah. Yang penting tempat tinggi." Pak Widodo menjawab.
Aku masih saja sibuk dengan administrasi yang berceceran dibeberapa ruangan. Disaat seperti ini aku baru sadar, kerapian itu penting.
Saat kami sibuk di dalam kantor, tak disangka air mulai menggenang sampai diatas lutut orang dewasa. Jalan raya sudah tidak bisa dilintasi kendaraan lagi.
Tengah hari, air sudah masuk ke dalam ruang kelas. Padahal lantai kelas 75cm diatas permukaan lantai halaman. Kami sudah tidak bisa lagi bertahan di area Donmiua. Kami pun pindah ke tempat yang lebih tinggi di kios sebelah timur Donmiua. Pak Sawabi guru Penjas Donmiua, Lartoyo serta mas Yayan berjaga sembari melaporkan kondisi terkini SD.
Malam itu hujan belum juga reda. Pagar SD Donmiua setinggi 2,5 meter hampir tertutup air. Setiap hp berbunyi, yang ada dipikiran kami hanya satu. Bagaimana rumah kedua kami?. Pak Widodo pun juga segera meliburkan siswa Donmiua karena jelas beresiko tinggi jika memaksakan hal tersebut.
Keesok harinya, aku berangkat lebih pagi. Masih disambut genangan air setinggi 50cm. Tidak ada Lagi Isa, Inez, Cahya dan Dea yang biasa menyambutku dengan membawa buku matematika. Biasanya mereka sudah duduk diparkiran dengan banyak pertanyaan. Sedikit demi sedikit air mulai berkurang melalui sebuah lubang disudut SD Donmiua. Terlihat pagar SD Donmiua masih tertidur pulas. Ternyata kontainer lah yang menina-bobokkan pagar sampai porak-poranda. Pintu Mushola Donmiua juga terkena dampaknya.
Pukul 11.00 WIB siang, air benar-benar surut. Tinggal di beberapa bagian yang masih menggenang. Tembok, lantai, dan tamanpun terbungkus lumpur dan sampah. Masuk ke ruangan meja dan kursi sudah berserakan. Buku-buku sudah menjadi lembek seperti roti yang masuk dalam kopi.
"Hancur jadi bubur Top". Teriak Lartoyo dari sudut kelas 4 sambil memegang buku Tematik.
"Pagarmu roboh kenapa mas?" Tanya Bu Wartini sambil melepas helm yang dikenakan.
"Kena dampak truk kontainer yang lewat Buu." Jawab Lartoyo sambil memilih buku yang masih bisa diselamatkan.
"Ini mau gimana Bang?" Tanyaku yang kebingungan, tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Aku shock, karena ini pertama kali aku terdampak banjir.
"Nunggu Pak Widodo dulu, sebentar lagi datang."
Beberapa menit kemudian, Pak kepala sekolah datang. Setelah berdiskusi dengan bapak ibu guru, Pak Widodo memberikan kesimpulan bahwa pembersihan akan dilaksanakan bersama Komite sekoLah dan orang tua wali.
Hari itu kami menyiapkan peralatan kebersihan dan memindahkan barang yang masih bisa terselamatkan. Tak ada lagi canda tawa, pikiran kami was-was. Sedianya menyiapkan soal ujian kenaikan kelas, tapi keadaan sudah tidak memungkinkan.
Dua hari pasca kebanjiran, waktunya memandikan SD Donmiua. Banyak sekali bantuan tenaga dan alat steam dari lingkungan sekitar. Beberapa SD yang berdekatan juga turut membantu. Min Melikan, SD Baran 1, dan SD Karangwuni 1 juga ikut ambil bagian. Nampak KorwiL Bidik Rongkop, Polsek dan Koramil Rongkop juga ikut membantu.
Akhirnya, setelah 3 hari kegiatan pembelajaran diliburkan aku kembali bertemu anak-anak kelas 6. Melanjutkan pembelajaran yang sempat tertunda. Kami harus mengejar materi yang belum disampaikan. Apalagi tryout pertama kabupaten tinggal 3hari. Kami harus segera bangkit dan sebisa mungkin berjalan mengejar materi yang mungkin SD lain sudah bisa berlari.
Nama : Budi Artopo
Instansi : SDN MeLikan Rongkop Gunungkidul Yogyakarta
Memang SD lama slalu terkenang slamanya...
BalasHapusAyo muLih yuuu. . ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
HapusKalau boleh saya kasih masukan tadi ada kata: " maka yang lain harus perhatikan" kalau menurut sya yg benar bukan perhatikan tapi memperhatikan.
BalasHapusItu hanya masukan dari sya.😊
Terimakasih Buu Rusty Tutar atas koreksinya
HapusBapak masih ingat dengan banjir waktu itu rupanya ðŸ˜
BalasHapusTermasuk muridku yang paLing cerdas inii
HapusWah, dikira anak anak cemas. Tak tahunya malah senang bisa main air. 😄 Bagus Pak kisahnya
BalasHapusNamanya anak zaman Now,
Hapus
BalasHapusWis apik mas budi
Semoga sukses selalu
Terimakasih Pak
Hapus